Menguap (bs jawa: angop) dipercaya bisa menular, mengapa demikian?. Anda
pastinya pernah memperhatikan orang menguap saat berada di kerumunan.
Biasanya, setelah ada yang menguap dalam satu
kerumunan, tidak lama kemudian akan ada orang lain lagi yang menguap,
dan ada lagi yang menguap, dan seterusnya. Hal ini membuat banyak orang
percaya bahwa menguap bisa menular secara berantai. Mengapa?
Penyebab persis menguap, hingga saat ini memang belum ditemukan.
Pendapat yang banyak dikemukakan menyebutkan bahwa menguap terjadi
karena oksigen dalam tubuh minim. Biasanya, orang bisa menguap saat
kondisi tubuh lelah, malas, bosan, atau mengantuk. Kebiasaan menguap ini
tidak mengenal usia. Mulai dari bayi yang baru lahir hingga orang
lanjut usia, punya kebiasaan menguap.
Mengapa
menular? Sejauh ini memang belum ditemukan jawaban yang pasti atas
pertanyaan tersebut. Penelitian terbaru dijalankan oleh Guru Besar
Psikologi di Universitas Dexter, Philadelphia, Amerika Serikat (AS),
Steven Platek. Laporan dari studi tersebut antara lain dipublikasikan
oleh jurnal Cognitive Brain Research. Secara singkat, majalah Shine,
mengutip laporan tersebut.
Dalam laporan hasil studinya, Platek mengungkapkan bahwa menguap bisa menular karena adanya efek empatetik dalam aktivitas tersebut. Proses menguap itu, kata dia, mirip dengan tertawa. Saat ada satu orang tertawa dalam sebuah kerumunan, biasanya bakal muncul orang lain yang memberikan respons dengan tertawa juga.
Dalam laporan hasil studinya, Platek mengungkapkan bahwa menguap bisa menular karena adanya efek empatetik dalam aktivitas tersebut. Proses menguap itu, kata dia, mirip dengan tertawa. Saat ada satu orang tertawa dalam sebuah kerumunan, biasanya bakal muncul orang lain yang memberikan respons dengan tertawa juga.
"Efek penularan menguap bukan hanya muncul dari penglihatan, tapi juga
bisa muncul dari pendengaran, membaca artikel tentang menguap, atau
bahkan berpikir tentang menguap," tutur Platek. Dia dan tim penelitinya
meyakini bahwa penularan menguap merupakan cara primitif pemodelan
perasaan manusia yang terkait dengan manusia yang lain.
Tidak hanya menular, ternyata beberapa studi juga mengungkapkan bahwa aktivitas menguap itu tidak bisa dikontrol. Buktinya, saat seseorang punya keinginan menguap, maka dia akan sangat sulit untuk menahannya. Biasanya, dia hanya bisa menahan agar mulutnya tidak terbuka saat menguap.
Tidak hanya menular, ternyata beberapa studi juga mengungkapkan bahwa aktivitas menguap itu tidak bisa dikontrol. Buktinya, saat seseorang punya keinginan menguap, maka dia akan sangat sulit untuk menahannya. Biasanya, dia hanya bisa menahan agar mulutnya tidak terbuka saat menguap.
Menguap selalu identik dengan mengantuk, meskipun kajian akademis punya jawaban yang lebih ilmiah soal ini.
Tim
peneliti Universitas Binghamton menyimpulkan bahwa menguap ada
hubungannya dengan suhu di otak kita. Artinya, menguap berfungsi untuk “mendinginkan”
otak kita.Analoginya sebagai berikut: Otak kita bekerja seperti halnya
komputer. Nah, komputer bisa beroperasi dengan efisien bila tetap
dingin. Karena itulah dibutuhkan komponen seperti kipas, heatsink, agar
komputer tidak cepat panas dan berhenti bekerja.
Demikian juga kerja otak, pemanasan yang terjadi lewat aktifitas berpikir dan bergerak membuat suhu di otak meningkat tajam. Menguap pun merupakan solusi untuk mengembalikan suhu yang stabil bagi aktifitas otak itu sendiri.
Menguap juga tampaknya menjadi bagian dari sebuah momen transisi dalam otak. Seperti misalnya pada periode sebelum tidur dan setelah bangun tidur. Kondisi seperti multiple sclerosis (melibatkan disfungsi thermoregulatory), migrain dan kejang epilepsi ditengarai juga menjadi penyebab serangan menguap yang berlebihan.
Lantas, mengapa menguap begitu mudah menular?
Para peneliti tersebut meyakini, kita sering ikut menguap bila melihat orang lain lebih dulu menguap sebagai mekanisme otomatis dan terkait dengan sugesti. Studi menunjukkan bahwa menguap juga menular mungkin terkait dengan kecenderungan ke arah empati; mencoba memahami sebuah berhubungan dengan orang lain.
Diperkirakan, 55% orang akan menguap dalam waktu lima menit setelah melihat orang lain menguap.
Uniknya, sebuah studi tahun 2007 menemukan bahwa anak-anak dengan gangguan spektrum autisme tidak meningkatkan frekuensi menguap setelah melihat video orang lain menguap. Hal ini mendukung klaim bahwa penularan dalam menguap berhubungan dengan kapasitas empatik.
Demikian juga kerja otak, pemanasan yang terjadi lewat aktifitas berpikir dan bergerak membuat suhu di otak meningkat tajam. Menguap pun merupakan solusi untuk mengembalikan suhu yang stabil bagi aktifitas otak itu sendiri.
Menguap juga tampaknya menjadi bagian dari sebuah momen transisi dalam otak. Seperti misalnya pada periode sebelum tidur dan setelah bangun tidur. Kondisi seperti multiple sclerosis (melibatkan disfungsi thermoregulatory), migrain dan kejang epilepsi ditengarai juga menjadi penyebab serangan menguap yang berlebihan.
Lantas, mengapa menguap begitu mudah menular?
Para peneliti tersebut meyakini, kita sering ikut menguap bila melihat orang lain lebih dulu menguap sebagai mekanisme otomatis dan terkait dengan sugesti. Studi menunjukkan bahwa menguap juga menular mungkin terkait dengan kecenderungan ke arah empati; mencoba memahami sebuah berhubungan dengan orang lain.
Diperkirakan, 55% orang akan menguap dalam waktu lima menit setelah melihat orang lain menguap.
Uniknya, sebuah studi tahun 2007 menemukan bahwa anak-anak dengan gangguan spektrum autisme tidak meningkatkan frekuensi menguap setelah melihat video orang lain menguap. Hal ini mendukung klaim bahwa penularan dalam menguap berhubungan dengan kapasitas empatik.
Menguap Pada Hewan
Pada hewan, menguap dapat berfungsi sebagai sinyal peringatan. Charles Darwin, dalam bukunya The Expression of the Emotions in Man and Animals menulis bahwa babon menguap untuk mengancam musuh-musuh mereka (mungkin dengan menampilkan gigi taring besar) Sejenis babi di Guinea juga menguap karena berhubungan dengan kemarahan. Hal ini sering disertai dengan gigi gemeletuk serta suara mendengkur.
Pada hewan, menguap dapat berfungsi sebagai sinyal peringatan. Charles Darwin, dalam bukunya The Expression of the Emotions in Man and Animals menulis bahwa babon menguap untuk mengancam musuh-musuh mereka (mungkin dengan menampilkan gigi taring besar) Sejenis babi di Guinea juga menguap karena berhubungan dengan kemarahan. Hal ini sering disertai dengan gigi gemeletuk serta suara mendengkur.
Lain lagi fungsi menguap pada penguin, hewan ini menguap sebagai bagian dari ritual pacaran mereka.
Sementara ular menguap untuk menyetel kembali rahang mereka setelah makan dan untuk alasan pernapasan.
Yang paling mendekati dengan kebiasaan manusia justru anjing. “Sahabat setia manusia” ini sering menguap setelah melihat manusia menguap.
Sementara ular menguap untuk menyetel kembali rahang mereka setelah makan dan untuk alasan pernapasan.
Yang paling mendekati dengan kebiasaan manusia justru anjing. “Sahabat setia manusia” ini sering menguap setelah melihat manusia menguap.